
“Nyatanya setelah tahap penyegelan, aktivitas di kawasan TWA Megamendung kembali beroperasi,”
Padang (ANTARA) – Ombudsman Perwakilan Sumatera Barat (Sumbar) meminta pemerintah dan aparat penegak hukum berani serta bertindak tegas terhadap bangunan-bangunan liar atau tidak berizin di sepanjang kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Megamendung, Kabupaten Tanah Datar.
“Nyatanya setelah tahap penyegelan, aktivitas di kawasan TWA Megamendung kembali beroperasi,” kata Kepala Ombudsman Perwakilan Sumbar Adel Wahidi di Padang, Minggu.
Hal tersebut disampaikan Adel menyikapi beroperasinya beberapa bangunan dan aktivitas di kawasan TWA Megamendung. Padahal, pada Kamis (26/6) Kementerian Kehutanan bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar, TNI/Polri dan pemerintah provinsi setempat sudah menyegel kawasan tersebut.
Menurut Adel, hal itu terjadi karena pemerintah dan instansi terkait tidak tegas atas kebijakan atau keputusan yang sudah dibuat sebelumnya. Imbasnya, bangunan liar di kawasan TWA Megamendung kembali beroperasi pasca penyegelan.
Ia mengatakan apabila penyegelan itu diabaikan pengelola atau pemilik usaha di kawasan TWA Megamendung, Ombudsman menyarankan agar dilakukan pembongkaran paksa. Hal ini juga sesuai dengan peringatan Kementerian Kehutanan yang menyebutkan TWA masuk ke dalam kawasan hutan dan dalam pengawasan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan.
Aturan itu juga menegaskan barang siapa dengan sengaja memutus, membuang atau merusak papan peringatan oleh atau atas nama penguasa umum yang berwenang, atau dengan cara lain menggagalkan penutupan papan peringatan, diancam pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan (Pasal 232 Ayat 1 KUHP).
Adel mewanti-wanti apabila tidak ada ketegasan dalam menegakkan aturan di kawasan TWA Megamendung, maka bisa bermuara pada pembiaran jangka panjang, dan masyarakat semakin sewenang-wenang mendirikan bangunan liar.
"Jadi, kalau mereka tidak patuh pada penyegelan itu maka seharusnya pemerintah atau pihak terkait langsung saja ke proses berikutnya, yakni pembongkaran paksa," ujar dia.
Terpisah, tokoh adat Nagari (desa) Singgalang, Kabupaten Tanah Datar Yunelson Datuak Tumangguang mengatakan eksekusi atau penutupan tempat pemandian dan aktivitas di sekitar kawasan TWA Megamendung tanpa adanya koordinasi terlebih dahulu dengan masyarakat setempat.
"Eksekusi ini tanpa adanya koordinasi pemerintah terutama gubernur," kata Datuak Tumangguang.
Ia mengatakan pascabanjir bandang yang melanda desa itu belum ada gubernur atau bupati berdiskusi dengan tokoh adat setempat. Padahal, setelah kejadian itu, pihaknya menyebut sudah mengundang gubernur untuk menyikapi kondisi yang terjadi.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
No responses yet