
“Khusus permintaan maaf untuk keluarga marga Pono, mohon maaf atas slip of the tongue yang pernah terjadi di acara diskusi hak cipta,”
Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi X DPR RI Ahmad Dhani menganggap putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI yang menjatuhi putusan bahwa dirinya melanggar kode etik hanya persoalan menyangkut nilai.
“Ya, sebenarnya itu semua masalah menilai saja, kalau tidak ada yang ngelaporin ya nilainya tidak ada sebenarnya, sama saja, karena ada yang melaporkan ada nilai-nilai lain dari luar, value (nilai) dari luar, itu lah (putusan dijatuhkan),” kata Ahmad Dhani ditemui usai menghadiri sidang pembacaan putusan MKD DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.
Dhani menuturkan bahwa dirinya memegang nilai-nilai yang diyakini secara personal, namun dia menginsyafi bahwa ketika duduk sebagai anggota dewan ada nilai-nilai tertentu yang harus dipegangnya.
“Jadi karena saya menjadi anggota DPR/MPR tentunya value harus di-adjust (disesuaikan) menjadi value daripada parlemen. Jadi saya sudah enggak bisa menggunakan value saya sendiri,” ucapnya.
Begitu pula, lanjut dia, dengan norma-norma yang dianggapnya hanya perlu merujuk pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
"Padahal menurut saya, sebelum saya masuk anggota DPR, (norma) adat dan lain-lain semuanya ada di Pancasila," ujarnya.
Sebagaimana sanksi yang dijatuhkan dalam amar putusan, Dhani pun menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada pihak pelapor atas dua perkara berbeda.
"Mengucapkan permintaan maaf kepada pihak, semua pihak, khususnya yang melaporkan soal hal-hal yang sudah di laporkan," katanya.
Permintaan maaf di depan awak media itu, ia juga sampaikannya untuk musisi Rayendie Rohy Pono alias Rayen Pono yang melaporkannya ke MKD DPR atas dugaan penghinaan marga Pono menjadi porno.
"Khusus permintaan maaf untuk keluarga marga Pono, mohon maaf atas slip of the tongue yang pernah terjadi di acara diskusi hak cipta," tuturnya.
Adapun dalam sidang MKD DPR RI, Dhani menyebut memiliki perbedaan pandangan dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang menilai ide perluasan naturalisasi pemain sepak bola untuk dinikahkan dengan perempuan Indonesia sebagai pernyataannya bernada seksis.
"Menurut saya kan hanya ada satu (pihak) yang merasa itu tidak patut karena tidak sesuai dengan norma yang diyakininya. Komnas Perempuan merasa itu melanggar norma yang mereka yakini, meskipun itu tidak dianggap bertentangan dengan Pancasila," kata Dhani dalam sidang sebelum pembacaan putusan.
Menurut dia, seksis ataupun gender bukanlah suatu norma yang berlaku di Indonesia. Sebaliknya, dia meyakini bahwa norma yang tepat ialah berpedoman pada etika dan moral dalam Pancasila.
"Bukannya saya sok pintar, seksis itu kan Bahasa Inggris, dan di dalam bahasa Indonesia pun kan norma seksis enggak ada, atau gender juga Bahasa Inggris. Maka dari itu saya tetap bertahan norma itu adalah Pancasila, bukan norma yang dihadirkan dari dunia Barat begitu," katanya.
Untuk itu, dia merasa pernyataan yang dilontarkannya saat Rapat Komisi X DPR RI bersama Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Rabu (5/3) itu tidak bertentangan dengan norma dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
"Masalah gender, seksis, itu kan pandangan soal pemikiran. Pemikiran bisa berbeda. Selama saya meyakini bahwa pemikiran saya tidak berbeda dengan Pancasila dan norma-norma itu adalah selalu tetap Pancasila yang kita junjung, bukan norma dari dunia Barat," ucapnya.
Dia lantas berkata, "Sehingga kalau dibolehkan berdebat dengan Komnas Perempuan saya akan debat mereka, masalah etika dan masalah moral yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945."
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025
No responses yet