“Fraud bukanlah sekadar kesalahan administratif, pelakunya dapat digolongkan sebagai bromocorah, aktor perusak struktur kepercayaan. Dan dalam konteks birokrasi, fraud adalah pengkhianatan terhadap amanah publik,”

Yogyakarta (ANTARA) – Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menegaskan bahwa praktik kecurangan atau penipuan (fraud) bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap amanah publik.

“Fraud bukanlah sekadar kesalahan administratif, pelakunya dapat digolongkan sebagai bromocorah, aktor perusak struktur kepercayaan. Dan dalam konteks birokrasi, fraud adalah pengkhianatan terhadap amanah publik,” ujar Sri Sultan saat membuka National Anti-Fraud Conference (NAFC) 2025 di Yogyakarta, Rabu.

Dengan mengusung tema “Becik Ketitik, Ala Ketara”, menurut Sri Sultan, falsafah Jawa tersebut bukan sekadar pepatah, melainkan prinsip etik sekaligus keniscayaan bahwa kebenaran akan tampak pada waktunya dan keburukan niscaya tersingkap.

“Dalam konteks inilah, ‘corah’ atau korupsi dan fraud dalam terminologi Jawa, merupakan wujud angkara yang harus dilenyapkan. Tujuannya untuk mewujudkan tatanan Hamemayu Hayuning Bawana, yang bermakna kesejahteraan, keindahan, dan keharmonisan dunia,” ujarnya.

Karena itu, Sultan HB X mengajak seluruh pihak membangun ekosistem anti-fraud yang dilandasi nilai-nilai kejujuran (“satya”), pengayoman (“pamong”), dan rasa memiliki terhadap amanah publik (“rumangsa melu handarbeni”).

"Perjuangan melawan fraud bukan hanya tugas lembaga, bukan semata kerja algoritma, melainkan panggilan moral setiap insan, yang ingin dunia ini tetap elok dan adil," kata Sri Sultan.

Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Budi Prijono menyatakan pengawasan dan pemberantasan fraud harus menjadi gerakan kolektif yang berakar pada budaya integritas, bukan sekadar kewajiban administratif.

"Fraud atau kecurangan adalah tantangan multidimensi yang dampaknya tidak hanya merugikan secara finansial tetapi juga merusak kepercayaan publik dan mencederai martabat institusi," ujar Budi.

Dia menekankan perlunya kolaborasi lintas sektor dan yurisdiksi dalam menghadapi dinamika fraud modern, termasuk mengantisipasi risiko-risiko strategis secara adaptif.

"Lembaga pengawasan seperti BPK, APIP, dan OJK tidak hanya dituntut akurasi, tetapi juga kemampuan membaca risiko secara strategis dan bertindak lintas sektoral secara adaptif," katanya.

Presiden ACFE Indonesia Chapter Hery Subowo menjelaskan pemilihan DIY sebagai lokasi penyelenggaraan konferensi dilandasi nilai simbolik Yogyakarta sebagai ruang keteladanan moral.

"Yogyakarta kami pilih bukan semata karena keindahan dan keramahan budayanya, tapi karena ia adalah simbol nilai, pengetahuan, dan keteladanan moral," ucap dia.

Konferensi yang digelar selama dua hari tersebut menghadirkan enam sesi panel dan satu monolog reflektif, membahas isu mulai dari pengawasan pasar modal hingga fraud digital dan teknologi "deepfake".

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.