“Tema kampanye tahun ini adalah Indonesia Tanpa Penyiksaan atau No Justice in Pain, menegaskan bahwa tidak ada keadilan yang dapat dibangun di atas penderitaan,”

Jakarta (ANTARA) – Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) menyampaikan pernyataan bersama dalam momentum Hari Antipenyiksaan Internasional yang diperingati setiap tanggal 26 Juni bahwa tidak ada keadilan yang dapat dibangun di atas penderitaan.

KuPP terdiri atas enam lembaga negara, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Ombudsman Republik Indonesia, dan Komisi Nasional Disabilitas (KND).

“Tema kampanye tahun ini adalah Indonesia Tanpa Penyiksaan atau No Justice in Pain, menegaskan bahwa tidak ada keadilan yang dapat dibangun di atas penderitaan,” kata anggota Ombudsman RI Johanes Widijantoro di saat konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Rabu.

Keenam lembaga negara ini memandang bahwa penyiksaan bukan hanya pelanggaran terhadap HAM, melainkan juga menghancurkan fondasi kepercayaan publik terhadap sistem hukum, keamanan, dan keadilan.

KuPP mendorong negara untuk memastikan bahwa seluruh institusi penegak hukum dan lembaga pemasyarakatan terbebas dari praktik penyiksaan, kekerasan, atau perlakuan lainnya yang dapat merendahkan martabat manusia.

Pencegahan penyiksaan dinilai hanya dapat dicapai melalui langkah-langkah yang komprehensif dan berkesinambungan. Oleh karenanya, KuPP menekankan perlunya penegakan hukum yang tegas bagi pelaku penyiksaan serta memastikan adanya transparansi dan pengawasan independen.

“Termasuk pemberian akses bagi lembaga pengawas ke tempat-tempat penahanan atau tempat-tempat serupa tahanan,” tutur Johanes.

Menurut KuPP, negara juga wajib menjamin pemulihan dan perlindungan bagi korban melalui penyediaan layanan psikologis dan bantuan hukum, mendorong pendidikan dan pelatihan HAM bagi aparat penegak hukum, serta memperkuat partisipasi aktif masyarakat dalam memantau dan melaporkan pelanggaran yang terjadi.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Komnas HAM RI Anis Hidayah mengatakan bahwa lembaganya masih menerima 17 aduan terkait penyiksaan selama tahun 2024. Jumlah itu menambah angka pengaduan sejak tahun 2020 menjadi 282 aduan.

“Yang paling banyak menjadi korban penyiksaan adalah perorangan, tahanan, dan masyarakat,” tutur Anis.

Dalam kurun waktu 2020–2024, Komnas HAM mencatat bahwa dugaan penghilangan nyawa atau penganiayaan oleh aparat menjadi peristiwa tertinggi yang dilaporkan dalam isu penyiksaan, yakni sebanyak 72 kasus.

Sementara itu, dugaan kekerasan terhadap tahanan dan/atau narapidana menjadi aduan tertinggi kedua dengan 61 kasus, disusul dugaan penyiksaan saat interogasi dalam pemeriksaan dengan 58 kasus.

Di sisi lain, LPSK mencatat, permohonan perlindungan dalam tindak pidana penyiksaan tahun 2024 meningkat paling signifikan di antara tindak pidana lainnya, yakni mencapai 204 persen.

“Dari 24 permohonan pada 2023, menjadi 73 permohonan setahun setelahnya,” kata Wakil Ketua LPSK Susilaningtias.

Pada tahun lalu, angka perlindungan yang diberikan LPSK kepada pihak-pihak dalam kasus penyiksaan juga meningkat dibanding tahun 2023, yakni dari hanya 10 orang menjadi 49 orang saksi dan/atau korban.

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.